Ditulis Oleh ; Ayi Karmilah, S.Pd.I.Gr.
Pagiku tidak sama dengan pagi yang didengar oleh teman-temanku, setiap pagi aku mendengar suara teriakan Ayahku.
“Renooo, kamu beda sama adikmu yang selalu nurut dan juga cerdas,” ujar ayahku.
Setiap hari, ayahku selalu memarahiku serta membandingkan dengan Adikku yang bernama Beni sehingga setiap pagi yang aku rasakan adalah perasaan sedih dan juga kehilangan semangat. Beni anak yang cerdas sedangkan aku dianggap anak yang kurang cerdas oleh ayahku karena tidak pernah berprestasi di sekolah. Aku sedih kenapa Ayahku begitu tidak suka padaku, hampir setiap hari Ayah selalu memarahiku, apalagi ketika dia melihat nilai-nilai ulanganku yang sangat kecil dibandingkan dengan nilai-nilai ulangan Adikku. Aku sempat bertanya pada Bunda.
“Bunda kenapa Ayah tidak suka padauk?”
Bunda menjawab, “Bukan tidak suka Nak, tapi Ayah ingin kamu menjadi lebih baik dan lebih rajin belajar.”
Mendengar apa yang dikatakan Bunda, aku menjadi sedih karena sebenarnya aku sudah berusaha belajar, tapi nilai-nilai ulanganku tidak sebagus nilai-nilai ulangan adikku. Hari ini, aku sekolah tanpa mendengar teriakan Ayah karena Ayah sedang sakit sehingga kami pergi ke sekolah diantar oleh Bunda. Sesampainya di sekolah, aku dipanggil oleh Ibu Guru.
Ibu Guru berkata, “Reno, ibu perhatikan ketika pelajaran PJOK kamu sangat antusias, apakah kamu bersedia untuk ikut lomba atletik kalau kamu bersedia Ibu daftarkan.”
Mendengar apa yang disampaikan oleh ibu guru, aku sangat bahagia sekali, aku ingin menunjukan pada Ayah bahwa aku punya bakat seperti adikku.
Guru PJOK bernama Pak Arifin, aku latihan atletik bersama Pak Arifin, dia sangat sabar melatihku, dia juga sangat baik dan lembut. Saat latihan aku sedikit melamun teringat Ayahku yang sering memarahiku sehingga aku menjadi sedih dan sedikit murung, dalam hati aku bicara.
“Kenapa Ayah tidak sama seperti Pak Arifin.”
Lamunanku buyar ketika Pak Arifin menepuk pundakku dan berkata, “Ayo Ren, semangat lagi latihannya, kamu pasti bisa.”
“Baik, Pak,” ujarku dengan penuh semangat.
Lomba pun dimulai, aku bertekad dalam hati bahwa aku harus menang, dan harus menunjukan piala kepada Ayah, “Bahwa aku Reno, anak berprestasi.”
Sorak sorai suara orang-orang di lapangan menyebut namaku.
“Reno … Reno … Reno.”
Alhamdulillah akhirnya aku juara satu, Pak Arifin menghampiriku dan mengucapkan selamat atas prestasiku. Aku menangis terharu, akhirnya aku punya piala, hadiah untuk Ayah.
Sesampainya di rumah, aku langsung menghampiri Ayah, aku melihat Ayah sedang terbaring sakit, dan aku berkata pada Ayah, “Ayah ini hadiah dari Reno, anak Ayah.”
Ayah tertegun dan matanya berkaca-kaca kemudian dia berkata dengan suara yang lirih tidak seperti biasanya, “Ayah bangga padamu Reno, kamu hebat, kamu anak Ayah selamanya, maafkan Ayah selama ini yang selalu menganggap kamu tidak bisa apa-apa, apakah kamu mau memaafkan Ayah?”
Aku pun menganggukan kepala sambil menangis dan berkata berkata pada Ayah, “Ayah boleh aku memeluk Ayah.”
Ayah langsung memelukku dan kami berdua menangis haru. Setelah itu, Ayahku tidak berteriak memarahiku kalaupun aku berbuat kesalahan, dia hanya mengingatkan, dan menasihati dengan lembut, serta tidak membandingkan aku dengan siapapun. ***